Cerita Dimulai…
Malam itu, Rina dan Dito duduk di sofa. Bukan sambil pelukan, tapi sambil ngitung stok popok. Di meja, bukan lilin romantis, tapi botol susu dan tisu basah.
“Dulu kita nonton film romantis, sekarang nonton anak tidur,” gumam Dito sambil nyengir.
Rina tertawa, “Romantisnya pindah ke jam 2 pagi, pas kita rebutan siapa yang ganti popok.”
Mereka saling pandang. Capek? Iya. Tapi cinta? Masih ada. Hanya saja, bentuknya berubah. Dari bunga dan coklat, jadi pelukan di tengah cucian yang belum dilipat.
1. Kode Romantis di Tengah Kekacauan
Pagi itu, Rina lagi nyuapin anak sambil nyanyi lagu “Cicak-cicak di dinding” versi remix. Dito lewat, ngasih senyum dan bisik, “Nanti malam kita nonton film romansa.” Rina melotot, “Yang penting bukan kartun.” Mereka saling senyum, dan itu cukup bikin hati hangat.
Di tengah kekacauan rumah tangga, rayuan nggak harus panjang. Kadang cuma emoji di chat: 🍕❤️🎬. Kadang kirim meme parenting, lalu tulis, “Untung kita bareng, ya.” Kode-kode kecil ini jadi pengingat bahwa cinta masih ada, meski bentuknya berubah.
Dito pernah kirim voice note ke Rina, isinya cuma suara kentut anak mereka. Tapi di akhir dia bilang, “Aku cinta kamu, meski rumah kita sekarang bau susu basi.” Rina ketawa sampai nangis.
Intinya, rayuan zaman now bisa lewat WhatsApp, meme, atau bisikan di tengah cucian. Yang penting niatnya tulus dan timing-nya pas. Karena cinta itu bukan soal besar-kecilnya hadiah, tapi soal perhatian kecil yang bikin senyum di tengah lelah.
2. Kencan Kilat di Rumah Sendiri
Anak tidur siang. Rina dan Dito langsung gerak cepat. Bukan buat bersih-bersih, tapi buat kencan kilat. Mereka duduk di dapur, ngopi bareng, sambil main tebak-tebakan, “Kalau kita liburan, anak dititip ke siapa?” Jawaban Dito, “Ke Damkar.” Rina ngakak, “Kamu mau anak kita jadi anak gosong?”
Kencan nggak harus fancy. Yang penting ada tawa dan tatapan mata yang bilang, “Aku masih cinta kamu, meski kamu sekarang lebih sering pakai daster daripada gaun.” Mereka pernah main Uno berdua, dan Dito kalah terus. Tapi dia tetap senyum, karena yang penting bukan menang, tapi waktu berdua.
Kadang mereka nonton ulang video nikah. Rina bilang, “Dulu kita kurus, ya.” Dito jawab, “Sekarang kita berisi... cinta.” Gombal receh, tapi bikin hati meleleh.
Kencan kilat bisa dilakukan kapan saja. Saat anak tidur, saat anak main sendiri, bahkan saat anak lagi nonton YouTube. Yang penting, pasangan bisa saling curi waktu untuk berdua. Karena kalau nunggu waktu ideal, biasanya datang setelah anak kuliah.
3. Sentuhan Kecil, Efek Besar
Dito lewat di dapur, peluk Rina dari belakang. “Kamu wangi... kayak minyak telon.” Rina ngakak, “Romantisnya khas orang tua.” Tapi pelukan itu bikin hati hangat. Walau tangan sibuk ganti popok, satu tangan bisa sempat peluk pasangan. Multitasking cinta, namanya.
Sentuhan kecil seperti pelukan, cium kening, atau pegangan tangan saat nonton berita bisa jadi penguat hubungan. Menurut riset dari Journal of Marriage and Family, sentuhan fisik rutin meningkatkan hormon oksitosin alias hormon cinta. Jadi, walau rumah berantakan, sentuhan tetap bisa bikin suasana adem.
Rina pernah bilang, “Aku capek banget.” Dito nggak jawab panjang, cuma pegang tangan Rina dan bilang, “Aku di sini.” Sentuhan itu lebih kuat dari seribu kata.
Kadang, cinta nggak perlu kata-kata. Cukup pelukan di tengah cucian, atau ciuman di kening saat pasangan lagi masak. Sentuhan kecil, efek besar. Karena cinta itu bukan soal grand gesture, tapi soal kehadiran yang terasa.
4. Komunikasi Tanpa Drama Korea
Malam itu, Rina curhat, “Aku capek, rasanya kayak robot.” Dito jawab, “Kalau kamu robot, aku mau jadi charger-nya.” Gombal? Iya. Tapi bikin senyum. Mereka ngobrol tanpa saling menyalahkan. Kadang pakai humor, kadang pakai pelukan. Yang penting, komunikasi jalan.
Komunikasi itu kunci. Tapi jangan nunggu konflik dulu baru bicara. Jadwalkan “rapat cinta” seminggu sekali. Bahas hal ringan, “Kita mau liburan ke mana kalau anak bisa dititip?” atau “Kapan terakhir kita makan berdua tanpa gangguan?”
Hindari nada interogasi, “Kamu kenapa nggak jawab chat aku jam 2 pagi?” Ganti dengan, “Aku kangen ngobrol sama kamu.” Gunakan humor sebagai pelumas komunikasi. Kalau pasangan mulai serius, lempar jokes, “Kamu tuh kayak WiFi, kadang nyambung kadang hilang.”
Dito pernah bilang, “Kita kayak tim sepak bola. Kadang beda strategi, tapi tujuannya sama, gol.” Rina jawab, “Asal jangan offside terus.” Mereka ketawa, dan obrolan jadi ringan.
Komunikasi yang sehat bukan soal siapa yang paling benar, tapi siapa yang paling mau mendengarkan. Dan kalau bisa sambil ketawa, kenapa harus marah?
5. Ingat, Kalian Tim yang Sama
Suatu malam, anak demam. Rina panik, Dito juga. Tapi mereka saling bantu. Saling gendong, saling kompres, saling peluk. Setelah anak tidur, mereka duduk lemas di sofa. Dito bilang, “Kita hebat, ya.” Rina jawab, “Kita tim. Tim popok, tim cinta, tim bertahan hidup.”
Kadang, saking sibuknya jadi orang tua, kita lupa bahwa kita dulu adalah pasangan. Dulu saling kirim puisi, sekarang saling kirim daftar belanja. Tapi cinta tetap bisa tumbuh, kalau kita ingat bahwa kita satu tim.
Bikin mantra berdua, “Kita bukan lawan, kita tim.” Rayakan hal kecil, anak tidur tepat waktu, dapur nggak meledak, atau berhasil nonton film sampai habis. Karena cinta itu bukan soal besar-kecilnya momen, tapi soal siapa yang ada di samping kita saat momen itu terjadi.
Dito pernah bilang, “Kalau kita bisa lewatin masa anak tantrum, kita bisa lewatin apa pun.” Rina jawab, “Termasuk masa anak remaja.” Mereka saling pandang, dan tahu, cinta mereka kuat, karena mereka saling dukung.
Jadi, ingatlah, kalian bukan dua orang yang kebetulan tinggal serumah. Kalian adalah tim. Tim cinta. Tim bertahan. Tim yang nggak akan menyerah, meski rumah penuh mainan dan suara tangisan.
Punya anak memang mengubah segalanya. Tapi cinta suami istri bisa tetap hidup, kalau kita mau merawatnya dengan tawa, pelukan, dan sedikit gombalan receh. Karena cinta itu seperti popok, harus diganti secara berkala agar tetap segar. 😄
Tidak ada komentar:
Posting Komentar